Di lamunan yang panjang bersama waktu luang, tercekik sebuah kisah lumrah yang memaksa hati tuk pergi, di usir dari segala sisi baik yang terlanjur terukir, di himpit kejamnya luka, menangis di antara rimbun bahagia yang telah terkikis pedih.
Sempat hanya kalimat untuk terus memberi kasih semangat, melebur gejolak detak yang semakin retak.
Di sini, sedih dan perih terus berjalan dengan baik, serupa malam yang kian kelam, terselimuti kenangan indah dan susah, memahami cerita antara penolakan, hadir dan restu alam, memporakporandakan rasa yang telah lama ku rawat dengan sangat hatihati, mencampur adukan rindu dan benci dan caci, terlanjur membusuk di dada, memilihmu adalah air mata.
Kisah ini masih belum berakhir, masih ku coba melawan badai yang membabibuta, yang membutakan rasa, menulikan degup dengan gugup.
Harapan dan anganangan masih setia, semangat bersama ketidakpastian, semangat bersama ketidakmungkinan.
Lupa akan luka, rindu menggerutu, takdir dan getir telah tercatat tanpa cacat.
Kau, begitu senyap tersumpal kesewenangan antara benci, takut dan purapura.
Tak mau mencari celah di antara perasaan dan logika.
Tak pernah seirama dengan rasa yang di miliki, dadamu gemetar, meledak lalu hancur. Entah, apa yang kau rasakan, apa yang kau pahami, yang aku tahu jiika kau selama ini hanya sibuk melupakan, membagibagi, lalu ingin pergi menyudahi.
Enyahlah, jika yang kau ingin hanya pulang, pulanglah sendirian, tak usahlah berpamit.
Dan segeralah nikmati candu rindumu.
Anggap saja, aku sudah terbiasa di perlakukan memalukan, anggap saja, aku sudah siap menerima sayatan demi sayatan. Lakukanlah.
Tempat lain, 8 Agustus 19