Untuk apa aku tidur, bahkan lima hari sebelum menulis ini aku masih tetap terjaga
Buat apa? Bahkan jika bermimpi bertemu denganmu adalah ketidak-pedulianku
Untuk tetap terjaga dan menjaga sebuah gundah yang mulai marah
Untuk setiap kantuk yang terkutuk dan demi membunuh kegelisahan
Aku masih suka benyanyi pelan ketika malam hari
Menghilangkan penat sejak hari sakit itu
Kemudian memanggil manggil namamu dengan suara lirih
Pertanda keadaan semakin mendidih semakin mendekati perih
Luka luka ini tak banyak tahu tentang marahku pada liang berlinang
Tak pernah tahu arah untuk terus berjalan pada kegelapan
Mungkin lelah telah menerobos melalui celah celah kecemasan
Yang berusaha masuk kemudian menekan dan menikam
Gumpalan gumpalan resah yang semakin membuatku basah
Cepat suara detak jantung dan iringan lirih sebuah perih
Telah benar benar sampai menjerat menginjak dan menghantam
Muak dengan keadaan yang suram
Bosan pada kebiasaan perihal dendam
Tentang tangis kebencian dan kejamnya tikaman
Tentang marahku yang membuncah
Tentang sosok pribadi yang katanya sering sakit hati
Tentang umpatan caci maki yang semakin menjadi
Tentang keburukan yang datang sili berganti
Dan tentang datangnya dendam yang dalam yang masih terpendam
Apakah kini aku bisa menjalani?
Haruskah ini tetap berlangsung dengan marah kemudian mendarah?
Berupaya tegar melewati sebuah jalan terjal yang penuh kengerian
Berusaha tetap tersenyum lebar meski luka luka masih tetap menganga
Perih meski harus melangkah dengan hati yang patah
Sebuah upaya manis yang di paksa untuk tetap menangis
Dan kini ku pahami bagaimana caranya untuk tetap meneruskan hidup, meluruskan banyak mimpi yang pernah terbeli semoga bisa mengobati
Semoga tak lagi ada benci dendam tangis dan luka
Jurang, secang, september 2021

